September, 2014

Fokus pada Impian, Setia pada Proses, Bayar harga di Awal_ __Untukmu; Ayah, Ibu__ 090111/san

Jan 17, 2011

Laporan Bulan Ini


Maaf bunda, belum bisa kujaga adikku, titipan yang engkau dan ayah percayakan padaku. Sulit bagiku untuk bisa menjadi partner dia dalam hal ibadah. Walau dalam kegiatan sehari- hari kami terlihat begitu sangat dekat. Canda tawa, gurauan yang cukup menggelikan sering muncul dari kami. Tertawa lepas tanpa beban. 

Maaf bunda, aku belum bisa membuatnya solat tepat waktu, ke mesjid. Apa yang aku saksikan saat ini adalah adik semata wayangku yang mulai tidak rapi solatnya. Yang paling kusoroti adalah solat subuh. Bunda, sering kudapati ia mengabaikan panggilan yang sangt jelas terdengar dari mesjid depan rumah. Kubangunkan ia, setengah memaksa kutarik selimut, kelambu dan benda lain yang ada di sampingnya.  Dan biasanya adikku selalu bergerak tanpa mengeluarkan suatu dan segera mengambil air wudhu.  Tidak ada protes.

Namun tidak dengan pagi ini, bunda. Aku menemukan adikku yang mulai memperlihatkan ketidaksenangannya atas gangguan tidurnya. Dia bilang ‘ah’ dan menarik kembali selimutnya. Aku tidak dapat berbuat apa2. Kudirikan solat subuh ku di saat dia masih terlelap dan aku merasa bersalah tidak bisa menjadi kakak yang baik.

 Memang tadi malam kami berempat begadang semua bunda, menonton filem Sang Pemimpi. Bagus sekali filemnya, cukup menginspirasi kami semua. Fasilitas kursi yang hanya 2 tidak mengurungkan niat kami untuk nonton bareng, kereta pun dimanfaatkan tepat dibelakang kedua kursi. Aku dan adikku duduk disana, sangat indah malam itu bunda, terasa kami sangat kompak. Terharu, menyebabkan kakakku menangis dan tentu saja aku juga di belakanng. Namun tidak dengan kedua saudaraku yang lain. Abang dan adikku terasa biasa saja, tertawa malah. Beda memang.

Bunda, maaf ketika aku belum bisa menmberikan pemahaman yang baik kepada adikku bahwa olahraga itu penting. Tidur setelah solat subuh masih selalu terjadi untuk dirinya, dan tidak satupun yang berhasil mencegahnya. Aku sudah memberikan berbagai keburukan tidur di waktu itu, namun tidak ada respon positif. Jika sudah begini, kami hanya bisa diam dan dia segera mengalihkan pembicaraan. 

Maaf bunda, aku juga belum bisa membuat dia rutin baca Al Quran. Akhir2 ini, semakin jarang kulihat ia tilawah. Apakah karena kondisinya yang tidak lagi memiliki air wudhu, atau karena memang malas memberikan waktu untuk itu. Aku lihat dia semakin banyak tidur, sedikit membaca.  Gitar adalah teman lainnya dalam kamar, yang aku sangat tidak sukai kehadirannya dirumah kami ini. 

Aku tidak tahu bagaimana perkembangan perkuliahannya. Yang kutahu pelajaran mereka memang benar2 berat. Berbagai pelajaran eksakta mereka pelajari, diktat yang pakai bahasa inggris juga ada. Dan sebentar lagi mereka akan ujian. Namun tidak kulihat ada perubahan cara belajar, atau peningkatan waktu belajar yang diberikannya. Yang kutahu, dia juga agak kewalahan denngan belajarnya. “Semua kami pelajari kak,” itu ceritanya kala itu. Aku hanya bisa memotivasinya agar tetap semangat karena ada yang indah di akhir nanti. 

Dan aku pun mencoba sering2 bertanya perkembangan belajarnya, yah minimal bisa membuat dia sedikit lega bahwa ada yang memperhatikannya di tengah perjuangannya menghadapi mata kuliah yang beraneka ragam.
Bu, aku pun belum bisa se sabar ibu menghadapi saudara2 ku ini. Ketika ada sesuatu yang tidak beres, tidak jarang aku langsung marah. Walau tidak mengeluarkan kata2 yang kasar namun dari ekspresi wajah, dan sikap yang kutunjukkan mewakilkan rasa kekesalanku pada mereka. Aku belum bisa bekerja ikhlas, itu yang kusimpulkan. Kadang merasa paling  sibuk, dan memutuskan untuk berhenti. Bukankah engkau selalu menghandle semua tugas2 itu?? Engkau tidak pernah marah ketika kami tidur pagi dan pekerjaan langsung engkau tangani.

Maaf, bunda. Aku belum mampu sepertimu yang mampu memberi rasa berbeda di rumah. Masih dalam proses bagaimana agar aku bisa menjadi matahari seperti namaku (san) untuk menyinari mereka, seperti halnya engkau yang selalu memberikan warna cerah di rumah kita.
Bunda, ketika pulanng nanti, dengarkan kisah adikku, abangku, dan kakakku tentangku. Semoga kisah yang baiklah yang akan mereka sampaikan. Tidak tentang sayur yang kurang asin, menu yang monoton, korupsi uang makan, dll. Semoga itu cukup memberimu kenyamanan untuk menyerahkan amanah ini padaku, sebagai seksi konsumsi. 

Bunda, kan kuceritakan juga kisah kami di sini. Tukang cucui piring yang kurang ‘bertanggungjwb’, hingga seksi konsumsi sulit untuk bergerak. Saling menyalahkan..
Kan kukisahkan pula ketika rumah yang berserk, dan tindakan yang semena- mena dari penghuni rumah untuk menyerakkan barang karena memang ada si pembersih rumah. Dan tukang cuci pakaian yang terlalu rajin, hingga penyetrika kewalahan. Semuanya indah, bunda. Kenangan di sini tak akan terlupakan. Kami akan mandiri. Kami mengajjari diri kami untuk menjadi bertannggungjawab, ingin sepertimu. Terimakasih bunda..(18/01san)


*piring kotor, rumah berserak, cucian numpuk, kelaparan.. yang mana duluan?????

0 komentar:

Post a Comment

 
Baca Juga:
Langganan
Get It