September, 2014

Fokus pada Impian, Setia pada Proses, Bayar harga di Awal_ __Untukmu; Ayah, Ibu__ 090111/san

May 2, 2011

Seorang Ucok dengan Sebuah Harapan*



By: Nurhasanah Sidabalok
 “Cok, ambilkan nanti sirihnya dari ladang ya biar kita pergi ziarah ke makam oppung mu,”kata mamak sore itu ketika Ucok ingin pergi ke ladang menutup ayam.
“Iya mak, nanti aku ambilkan”,jawab Ucok


Ucok berangkat ke ladang dengan membawa beras dan jagung untuk makanan ayam. Sempat teerpikir di benak Ucok, apa gunanya mereka berziarah ke makam oppungnya dengan membawa perlengkapan seperti bunga, air, sirih dan bahkan rokok. Rutinitas yang mereka lakukan sejak Ucok berusia 5 tahun dan hingga kini 19 tahun. Selama ini dia tidak begitu mempertanyakan hal itu. Hanya mengikuti apa yang orangtuanya lakukan karena memang Ucok tidak ingin bertanya atau lebih tepatnya mempertanyakan hal yang baginya merupakan tindakan “bodoh” sedangkan bagi keluarga dan nenek moyangnya sudah merupakan sebuah “ibadah”. Apalagi masyarakat di kampung mereka juga cukup kental dengan tradisi itu.
“Ini mak sirihnya,” kata Ucok sambil meletakkan sejumlah daun sirih yang dibungkus dalam daun talas di atas dingklek.
“Iya mang, udah pintar kau ya berapa jumlah sirihnya. Memang perlu kau pelajari semua itu karena kamu lah yang bakalan meneruskan warisan nenek moyang ini. Apalagi kamu adalah anak sulung, jangan sampai kamu mempermalukan keluarga kita . “Mengerti kau kan Ucok,”kata mamak panjang lebar sambil memilah- milah daun sirih.


Di satu sisi, Ucok bangga dengan pujian yang diberikan oleh mamaknya. Yah, dia memang sudah cukup faham tentang budaya Batak yang sejak kecil sudah diterapkan dalam kehidupannya. Bagaimana bersikap kepada yang lebih tua, bertutur sapa dengan oranglain, dan bahkan tradisi dalam setiap acara kecil maupun besar. Semua itu sudah melekat betul dalam diri Ucok.
Di sisi lain, Ucok merasa bersalah dan tertantang. Apalagi setelah mempelajari agamanya, Islam, sedikit demi sedikit mendalam. Pelajaran yang diperolehnya selama 3 tahun di pondok pesantren yang kemudian dilanjutkannya ke sekolah favorit di kota yang semuanya mengajarkan untuk tidak percaya pada hal-hal yang selama ini mereka kerjakan, seperti membawa beberapa daun sirih, meletakkannya di atas makam dan bahkan kadang menyalakan rokok tepat di bagian atas makam. Keluarga dan penduduk kampung percaya bahwa sang arwah akan bahagia dengan diberikannya rokok sehingga sang arwah bisa kembali menikmati kebiasaannya ketika masih hidup.


Kadang Ucok ingin berontak dengan hal yang dipercayai oleh nenek moyang mereka, namun tidak memiliki daya untuk mengusik ketentraman hati mereka yang sudah sangat menikmati hal itu. “Ah, biarkan sajalah. Toh aku kan cuma ikut- ikutan, orang masih kecil”. Demikian jawaban Ucok ketika dia masih berusia 10 tahun, pada saat Yasin, teman dekatnya menanyakan tentang kebiasaan keluarga mereka yang bagi Yasin sangat aneh. Namun sekarang dia sudah dewasa, sudah mengeri bahwa itu adalah perbuatan syirik atau menyekutukan Allah, Rabb semesta alam. Dia masih ingat waktu pelajaran agama bahwa syirik adalah dosa yang paling besar dan tidak akan diampuni. Astagfirullahal’adzim. Apakah aku harus tetap diam? Membiarkan kesesatan di depan mataku? Merelakan orang- orang yang kucintai dimurkai oleh Allah? Rabb, bantu hamba. Ucok merasa sangat resah.
Ucok bersiap untuk pergi ke mesjid. Walaupun tradisi Batak masih kental, namun ibadah mereka selaku umat muslim tetap terjaga. Hanya saja ada beberapa budaya batak yang belum bisa mereka tinggalkan.
“Bah, yang pulangnya kau Ucok? Gak pernah lagi tulang nampak kau”, kata Tulang Riama ketika Ucok baru tiba di surau dan segera menyalami mereka satu persatu. Ada 3 orang yang sudah ada di surau dan ketiganya sudah berusia lanjut.
Setelah solat maghrib, mereka berbincang- bincang di surau menunggu solat isya. Ucok pun diminta untuk ceramah atau sedikit berbagi ilmu kepada mereka. Mereka yakin bahwa Ucok sudah memiliki banyak pengetahuan agama setelah kurang lebih 6 tahun memperdalam agamanya. Dan kini Ucok kuliah di universitas negeri di kota medan tingkat dua.


Mulailah Ucok membuka diskusi mereka dengan menyampaikan hal yang beberapa hari ini cukup mengusik hatinya. Tanpa bermaksud menggurui, Ucok meminta pendapat mereka tentang kebiasaan nenek moyang mereka yang samapai hari ini masih tetap lestari secara gamblang.
“Apa sih sebenarnya manfaat kita ziarah sambil membawa daun sirih, rokok dan bahan- bahan lainnya?”, tanya Ucok membuka diskusi dengan polosnya.
“Lho, kamu kok bertanya begitu? Pantang Cok, apalagi di depan orangtua,”jawab Tulang Riama berusaha mencegah pembicaraan berkaitan hal itu sambil mengernyitkan dahi memandang ke arah Pak Soleh.
Ucok mendapat tatapan heran dari yang lain, apalagi Pak Soleh, orang yang dituakan di kampung mereka. Selain rajin beribadah, beliau juga tetap berusaha melestarikan budaya Batak.
“Bukan begitu Tulang. Maksud aku ada gak gunanya bagi si mayat atau sama kita sebagai peziarah melakukan hal itu?, sambungnya kembali.
Semua diam. Akhirnya Pak Soleh angkat bicara.
“Sebenarnya begini anak muda. Mengenai manfaat ya pasti ada. Apa kamu pikir nenek moyang kita adalah orang bodoh, hanya berbuat saja tanpa berpikir terlebih dahulu? Jadi, sekarang sebagai generasi yang menghargai perjuangan nenek moyang, sudah menjadi kewajiban badi kita untuk melestarikan hasil perjuangan mereka. Jangan habis manis sepah dibuang. Anak muda sekarang sangat aneh, disekolahkan tinggi- tinggi malah tidak bisa menghargai,”kata Pak Soleh dengan panjang lebar sambil memasang raut muka tidak senang.
“Benar itu Cok. Kamu tidak boleh melupakan perjuangan nenek moyang. Apalagi ada pepatah yang mengatakan bahwa ‘Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa para pahlawannya’. Itu sudah kewajiban bagi kita. Itulah budaya kita, dan harus tetap dipelihara,”jelas Tulang Riama berusaha menenangkan suasana.
Sementara yang lain diam tanpa berani berkata sepatah pun. Di Satu sisi, dia segan pada Pak Soleh yang diyakini sudah memiliki banyak ilmu pengetahuan agama. Namun di sisi lain, dia juga menyetujui pendapat Ucok yang memberikan alasan logis dan masuk akal tentang kesia-siaannya melakukan semua itu.
Adzan Isya dikumandangkan. Solat Isya didirikan dengan khusyuk. Usai solat,”Cok, Jum’at ini bisa ngisi ceramah kan. Mumpung kamu lagi di kampung. Oke!,”kata Tulang Riama. “Tapi jangan yang aneh- aneh”, sambungnya sambil menepuk bahu Ucok yang akan segera pulang.
“Insya Allah, Tulang”, jawab Ucok tanpa diberi kesempatan untuk membuat alasan untuk ketidak bersediaannya.

Sesampai di rumah, Ucok menceritakan kejadian yang terjadi di surau kepada mamaknya, sementara bapak dan adik- adiknya sudah tidur. Sengaja Ucok menunggu mereka sampai tidur karena dia hanya ingin mendapat pendapat mamaknya terlebih dahulu. Ucok mendekati mamaknya yang sedang melihat pasir dalam beras dengan memakai lensa tebalnya.
“Astagfirullah, mengapa kamu bertanya begitu, apalagi ada Pak Soleh”, tanya mamak gusar. “Lalu bagaimana reaksi mereka?”, tambahnya.
“Ya, mereka kayak nggak setuju gitu Mak, tapi gak apa-apa kok. Ucok hanya ingin meminta pendapat mereka saja.
“ Kalau menurut mamak gimana? Percaya gak sama hal-hal seperti itu?”, tanya Ucok dengan tatapan yang sangat mengharapkan kejujuran dari mamaknya.
Mamak menghentikan pekerjaannya.
“Sebenarnya mamak pun sudah tahu bahwa hal seperti itu tidak bisa, dilarang agama. Tapi bagaimanapun kita tidak boleh menentang nenek moyang kita. Nanti kualat. Jadi mamak tetap melakukan hal itu”, jawab mamak Ucok.
“Tapi Mak,” kata Ucok ingin mencoba menimpali pernyataan mamaknya yang baginya sangat tidak rasional. Bagaimana bisa kita lebih takut kepada manusia daripada sama Sang Pencipta? Namun Ucok segera disuruh tidur karena besok pagi mereka akan pergi ke ladang. Dengan langkah gontai, Ucok menuju kamarnya yang cukup ramai oleh dengkuran adiknya, Umar yang berusia 10 tahun. Ucok membelai rambutnya dan mencium kening adik yang sangat disayanginya.
Sambil membereskan beras, mamak Ucok terus berpikir tentang pembicaraan singkat mereka barusan. “Alhamdulillah, terimakasih ya Allah karena telah memberiku seoatang anak yang di usia belianya sudah mencoaba benar- benar mengamalkan ajaran-Mu. Bantu dia, kata mamak Ucok dalam hati sambil meneteskan airmatanya.
Sementara Ucok belum bisa memejamkan matanya. Yang manakah lebih didahulukan, perintah Allah kah atau perintah nenek moyang? Jadi mengapa kedua orangtuanya mengantarkannya ke pesantren selama 3 tahun?
“Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya…”
“Janganlah kamu menyekutukan Allah…”
Ayat- ayat itu kembali terngiang di pikiran Ucok.
Rabb, bantu hamba, kata Ucok dalam hati diiringi tetesan airmata di akhir sujudnya ketika solat tahajud.

Usai solat Jumat, Tulang Riama menghampiri Ucok dan menepuk pundaknya. “Semua terkesima dengan ceramahmu. Tapi hati- hati, mungkin sebagian belum bisa menerimanya. Tulang duluan ya, assalamu’alaikum”, ucap beliau sambil berlalu dari hadapan Ucok.
Alhamdulillah. Ucok bernafas lega karena ia telah merasa tenang dengan menyampaikan kemelut di jiwanya walau belum ada kepastian apakah para jamaah menyimak ceramahnya atau hanya duduk dengan tertib. Tapi tidak mengapa. Dia sudah merasa lega untuk tahap pertama. Dia akan berangkat ke tahap selanjutnya. Dan sekarang, target yang pertama yang harus didekatinya adalah keluarganya, terutama mamaknya. Liburan yang akan segera habis ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin, ucapnya dalam hati.

“Ini Cok, bawa juga pisang yang mentah ini, bisa diperam untuk beberapa hari lagi,”kata mamak sambil membawa sesisir pisang dari arah dapur.
“Ya Allah, Mak, ini kan sudah cukup banyak. Sebulan pun belum tentu habis, kata Ucok sambil mengangkat kardus yang berisi penuh hasil buah- buahan kebun mereka. “Untuk mamak aja di rumah,”tambahnya.
“Ya udah, Ucok pamit dulu ya Mak. Mamak jaga kesehatan. Sambil menangis, Ucok memeluk mamaknya sangat erat seolah tidak ingin berpisah. Sementara mamak dan adik- adiknya heran melihat sikapnya yang sangat jarang seperti itu. Raut muka sedih pun sangat jarang ditunjukkannya selama ini.
“Sudah- sudah, nanti kamu kesorean sampai di Medan. Mamak ngerti perasaan kamu. Mengenai hal yang kamu ceritakan, akan coba mamak pikirkan. Mamak bangga sama kamu, kata mamak menenangkan hati Ucok.
Kemudian Ucok menyalami adiknya satu persatu. “Kalian baik- baik ya,”ucapnya lembut. Ucok beranjak meninggalkan mereka dengan berat hati. Apalagi dengan kondisi yang seperti itu. Bapaknya yang mulai berjudi lagi. Allah, aku sadar bahwa aku pasti tidak akan sanggup menjaga mereka. Hanya pada-Mu aku yakin, ya Rabb. Ucok hampir menangis di dalam bus menuju Medan, kota dimana dia kuliah.
Ingat medan, Ucok membayangkan teman-temannya di pondokan yang sangat dia kasihi. Merekalah yang terus menguatkannya di jalan ini.
Aslm.alhmdlh,ucok da smpai dimedan mak dgn slmt. Makasi byk y mak..
Ucok mengirim sms kepada mamaknya sesampai di kost.

“Din, besok ikut dauroh kan! Tolong maksimalkan anggota ya, rekrut sebanyak- banyaknya, oke?”, telepon Bang Zaki dari seberang.
“Insya Allah, Bang!,’jaawab Adin.
Sebenarnya nama asli Ucok adalah Abidin Kareem, namun lebih serig dipanggil Adin oleh teman- temannya, sementara di kampung dipanggil dengan Ucok, sebagai nama kebesaran bagi orang Batak.
Adin memang aktif berorganisasi di kampusnya. Tidak jarang setiap hari dia pulang sampai malam. Biasanya singgah ke kost temannya untuk membicarakan persiapan kegiatan terdekat atau hanya sekedar sharing. Sedangkan untuk pulang kampung saja, sangat sulit baginya. Yah, harus prioritas, demikian kata Mail, teman yang sering menjadi tempatnya curhat. Adin sangat bersyukur telah dikenalkan oleh Allah dengan dakwah ini dan teman- teman yang sangat berarti dalam kehidupannya.

“Bang, bagaimana cara mengajak orang tua untuk tidak lagi menyekutukan Allah ya? Budaya yang masih sangat kental itu cukup mengusik pikiran ana. Ana tidak ingin membiarkan mereka tersesat,”tanya Adin pada saat liqo.
Bang Deltha sangat terkejut dengan pertanyaan Adin, adiknya yang dia kira selama ini tidak memiliki masalah di keluarganya karena memang dia tidak pernah memasang wajah yang risau atau tingkah yang aneh. Namun dia berusaha menutupi keterkejutannya di hadapan adik- adiknya.
“Jadi gini Din, memang kewajiaban kitalah untuk membimbing keluarga kita dengan ilmu yang kita miliki”. Sampai di situ Adin semakin penasaran dengan kelanjutannya. Dia benar- benar tidak ingin berdosa atas kewajiban yang tidak terlaksana.
“Ada beberapa teknik yang bisa Adin coba untuk membimbing mereka. Sekarang Adin yang lebih faham bagaimana cara pendekatan yang baik kepada mereka. Satu hal yang sangat abang tekankan, jangan sampai menyinggung perasaan mereka. Berbuat baiklah kepada keduanya. Itulah salah satu cara yang bisa untuk memasukkan ilmu itu kepada mereka. Yakinlah, bahwa segala sesuatu ada proses. Jangan buru- buru,” jelas bang Deltha memberi pemahaman yang cukup melegakan Adin. Mudah- mudahan aja bisa, tekad Adin dalam hati.

Di liqo selanjutnya,
“Gimana Din, udah dicoba trik yang abang bilang?,”tanya bang Deltha sambil menunggu teman- temannya yang lain.
“Alhamdulillah sudah ana coba bang. Mmmm, tapi tidak semudah yang ana bayangkan bang, bahkan bapak marah sama ana lewat telepon. Memang perlu proses bang dan InsyaAllah ana udah siap dengan semua konsekuensinya,”jawab Adin dengan semangat. Dia yakin bahwa dia pasti bisa menyingkirkan kemusyrikan itu dengan perlahan- lahan. Minggu depan dia berencana untuk pulang kampung, menghadapi secara ‘jantan’.
“Yah, bagus kalau kamu memang yakin dan tetap semangat. Yang pasti jangan pernah putus asa dan tetap mohon bantuan Allah,”sambung bang Deltha dan segera menyalami teman- teman yang baru datang. Liqo pun dimulai dengan membaca lantunan ayat suci Al Qur’an yang sangat menggetarkan hati oleh akh Fata.

Di kampung,
Sayup- sayup Adin mendengar tilawah mamaknya. Dia salut dengan ketekunan mamaknya beribadah. Doa yang mengalir sepanjang malam oleh mamaknya membuat Adin semakin kuat. Adin segera mengambil air wudhu yang terasa sangat dingin menusuk kulitnya. Subhanallah, sangat segar,”ucapnya dalam hati.
Solat subuh jamaah di mesjid pun didirikan di tengah kesunyian kampung. Lolongan anjing semakin menambah kekhusyukan jama’ah solat subuh yang berjumlah dua orang. Ucok dan Pak Soleh.

“Bah, pulang kau Cok!,”kata tulang Riama sambil menyalaminya.
“Iya tulang, ngambil subsidi, jawab Ucok sambil berkelakar.
“Baik- baiklah kau belajar di sana. Jangan sampai kau sia- siakan hasil jerih payah kedua orang tuamu. Gak usah aneh- aneh, ingat ya,”jelas Tulang Riama di kedainya ketika Ucok belanja keperluan dapur yang dibutuhkan mamaknya. Maklum, setiap dia pulang kampung selalu ada hidangan special baginya. Perbaikan gizi, demikian kata mamaknya.
Ucok mengangguk.

Di rumah, Ucok mencoba menyinggung tentang tradisi mereka yang melanggar hukum Islam. Alhamdulillah mamaknya sudah bisa menerima dengan baik. Bahkan adik- adiknya sudah terbiasa dengan bahasan itu. Mereka mulai mengerti. Sekarang tinggal bapaknya. Ucok belum bisa mengajak bapaknya. Mungkin belum saatnya, tutur mamak.


Berada di keluarga yang Islami adalah impian yang sangat didamba- dambakan oleh Adin. Doa yang selalu dipanjatkannya di setiap usai solat. (08/02san)



*Juara II Sayembara Coret- coret Asy Syifa BTM3 Unimed 2010

0 komentar:

Post a Comment

 
Baca Juga:
Langganan
Get It