September, 2014

Fokus pada Impian, Setia pada Proses, Bayar harga di Awal_ __Untukmu; Ayah, Ibu__ 090111/san

Aug 7, 2012

Sebegitu EGO- Kah Aku, Bu?


Bersinar kau bagai cahaya
Yang selalu beriku penerangan
Selembut sutra kasihmu ’kan
Selalu rasa dalam suka dan duka
(Haddad Alwi feat Farhan, “Ibu”)

Ibu, terimakasih telah memberi ku ruang. Sangat lebar.
Saat aku masih berumur 4- 5 tahun, kau beriku kebebasan. Puas. Dinding rumah kita yang tak lain adalah  perumahan guru SD Inpres berhasil kuhias. Sukses! Dan engkau hanya tersenyum. Walau aku tak tahu apa yang akan terjadi kemudian. Lalu kuterbangun di tengah malam mendengar usapan- usapan pada dinding. “Kenapa dihapus Ibu? Itu kan lukisan adek”, tanyaku merengut setengah picing mata.
“Yah, biar besok adek punya tempat lagi tuk melukis. Makin bagus pastinya,” jawabmu sambil membelai rambutnya. Lalu aku pulas, dan tak tau sampai jam berapa engkau membersihkannya.

Dan aku masuk SD. Yah, memang kala itu TK masih sulit ditemukan. Kalaupun ada, pasti di pusat kota yang memakan waktu lama untuk kesana. Tapi aku sudah merasa puas, TK bersamamu, Bu. Hanya bersamamu dan dinding rumah kita. Aku SD di sekolahmu, dan lagi- lagi aku berguru padamu. Tapi beda, engkau sungguh bijaksana dan amanah akan semua tugas yang engkau emban. Semua kami di kelas diperlakukan secara adil. “Kenapa adek tadi dihukum di kelas, Bu?”. Lagi- lagi engkau hanya tersenyum dan melanjutkan memotong kangkung.

Aku mulai menemukan hobi baru. Membaca. Lumayan bisa diandalkan. Tentunya buku yang kubaca berbau cerita anak dan engkau tau apa yang kuinginkan. "Faris dan Haji Obet" menjadi hadiahku yang dapat juara kelas. Masih kusimpan sampai sekaranng, Bu. Kisah yang begitu inspiratif walau aku tak tahu dimana buku sebagus itu bisa engkau temukan 10 tahun lalu. Dan aku tahu kini, jauh- jauh hari engkau sudah memesan kepada anak rekan guru yang kuliah di kota. Subhanallah, sungguh besar perhatian dan kasih sayangmu padaku.

Tidak cukup itu. Engkau dengan senag hati membebaskanku dari kerja- kerja rumah itu saat aku sedang asyik dengan buku- buku ceritaku. Yah, ada banyak koleksiku kala itu. Lagi- lagi, semua itu berkat usahamu. Tanpa malu engkau meminjam kunci perpustakaan kepada kepala sekolah agar aku bisa melayari semua buku yang ada di sana. Sampai aku tertidur bahkan di atas tikar teras kita. Dan saat bangun, aku mandi dan semua pekerjaan rumah sudah egkau selesaikan. Sungguh, aku malu padamu, Bu.

Menginjak SMP, engkau mengantarkanku ke SMP yang ada di kota dengan nilai sangat memuaskan. Aku makin gila belajar samapi kadang lupa waktu. Tengah malam engkau temani aku yang sedang menghafal, atau sekadar mengulang pelajaran. Hebatnya, aku mendapat suguhan darimu. Secangkir teh manis hangat yang warna dan rasanya pas sekali dengan seleraku. Tidak berhenti hanya dengan duduk diam, engkau ambil jarum jahit dan menjahit celana olahragaku yang koyak akibat cara dudukku yang tak beraturan saat melepas lelah setelah lari 9 keliling putaran lapangan sekolah. Sedikitpun aku tidak peka kala itu. Harusnya aku tidur terlebih dahulu lalu bangun tengah malam untuk menyelesaikan tugas ini. Ibu tidak akan tidur duluan sebelum anaknya tidur, itu yang belum kupelajari benar dari Ibu. Jadilah aku asyik sendiri dengan angka- angka menghitung rata- rata pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2003- 2004. Maafku, Bu.

Menjadi juara umum di SMA dan menjadi perwakilan sekolah untuk olimpiade tingkat kota. Engkau mengirimku ke pusat kota untuk menuntut ilmu di bangku SMA. SMA favorit yang menjadi satu kebanggaan bagi orangtua yang bisa menyekolahkan anaknya di sana. Aku mulai jauh darimu. Aku punya HP tapi engkau tak punya. Aku pun semakin disibukkan dengan semua agenda sekolah. Apalagi sat itu aku menjabat sebagai sekretaris pramukan gudep 038, pramuka di SMA ku. Tapi aku sering menangis, Bu. Aku sering membayangkan wajah Ibu yang bekerja untuk kebutuhanku. Rasanya prestasi- prestasi ini belum cukup untuk membalas jasa Ibu. Tapi aku tidak tahu mau berbuat apa, Bu.

Setelah menyelesaikan UN dengan tersenyum, aku harus fokus ke persiapan SNMPTN. Lagi- lagi, engkau kuhiraukan. Namun, kecewaku kenapa engkau tidak pernah memberitahuku bahwa engkau ingin agar aku di sampingmu ketika tanganmu terluka akibat mencari kayu di kebun sebelah rumah kita? Pun aku tidak pernah terpikir untuk sedikit menggantikanmu menemani bapak mengambil hasil kebun kita? Parahnya, aku tidak peka. Maaf, Bu.

Lagi- lagi engkau hanya diam dan berkata,”Sudah Nak, fokus saja pada belajarnya. Biar bisa lulus dan masuk ke sekolah insinyur”. Aku semakin merasa bersalah. Yang ada dalam pikiranku adalah aku harus lulus pada pilihan pertama, pilihanku dan harapan kedua orangtuaku. Aku belajar tak kenal waktu, semua kuhabiskan untuk membahas soal- soal. Tak ayal lagi, aku nyaris jatuh sakit. Semua panic. Dan engkau? Kulihat airmata menggenang di pelupuk matamu. Dan semua waktumu untuk menemaniku. Kulihat do’amu panjang sekali sehabis shalat, dan dalam sujudmu juga. Tak jarang mukenamu basah. Maafku, Bu. Lagi- lagi membuat susah.

Hingga H-2 ujian SNMPTN, aku masih terbaring lemas. Apa katamu? Subhanallah. “Tidak mengapa Nak, bisa dicoba tahun depan. Yang penting sehat dulu ya”. Aku tidak tahan. Aku menangis sejadi- jadinya dalam tutupan selimut. Rabb, begitu banyak kesalahanku pada Ibu.
Aku tidak tahu pasti bagaimana asal muasalnya. Aku tidak merasakan sedikitpun merasa sakit dan aku senang. Alhamdulillah. Bahkan dokter pun terkejut dengan perubahan yang signifikan ini. Aku bisa ujian SNMPTN. Engkau? Sujud lama sekali di mushola rumah sakit.

Bu, aku lulus…. Aku akan menjadi insinyur dan menjadi penerus pak Habibie.  Kedua kalinya kulihat engkau sujud syukur lama sekali.
Lalu aku berangkat ke kota, jauh. Lebih jauh tentunya dari sekolahku SMA.

Dan aku bertanya dalam hati:
Bu, kapan aku bisa menemanimu? Sebentarpun  aku tidak ada di sampingmu saat engkau butuh. Namun engkau selalu ada saat aku butuh.
Sebegitu EGO- kah aku, Bu?

0 komentar:

Post a Comment

 
Baca Juga:
Langganan
Get It