September, 2014

Fokus pada Impian, Setia pada Proses, Bayar harga di Awal_ __Untukmu; Ayah, Ibu__ 090111/san

Dec 23, 2010

Penantian di Empat Bulan Satu Minggu


“Sudah kau siapkan makanan ayam itu, Farhan?”, Mak Irham bertanya kepada putra semata wayangnya Farhan yang sedang sibuk mempersiapkan ubi- ubi halus untuk sarapan pagi sang ayam. Irham adalah nama ayah Farhaan dan Fitri, jadi kedua orangtuanya dipanggil dengan sebutan itu.
“Iya Mak, sedikit lagi ini. Tinggal mencampur ubi dengan ampas kelapa kemarin,”jawab Farhan yang segera beranjak ke belakang rumah menuju kandang kandang ayam mereka.
“Kukkuruyuuuuuuk,” si jago berkokok dengan gagahnya. Farhan merasa nyaman berada di kampung halamannya yang telah ditinggalnya sejak satu tahun yang lalu ketika namanya ada di koran pengumuman sehingga ia harus berangkat ke Padang. 

Menjadi anak laki- laki bungsu dari keluarga Batak Toba asli adalah suatu kebanggaan bagi Farhan. Betapa tidak, dirinya sangat diakui keberadaannya. Bukan berarti kakaknya Fitri tidak diakui, namun sepertinya ada nilai lebih yang diberikan keluarganya padanya. Sekolah jauh ke Padang, memiliki kereta pribadi, dibelikan sebuah laptop dan fasilitas lainnya cuku membuatnya nyaman dan siap mengukir prestasi di kota Padang, kota impiannya. Lain dengan kakaknya Fitri yang tidak diperbolehkan untuk keluar dari kota kelahirannya, sehingga harus ikhlas untuk mengembangkan diri di universitas kota sendiri, Jambi.
“Ini tidak adil, masak ibu dan ayah membedakan anak- anaknya? Fitri kan juga ingin melihat dunia luar. Sumpek di Jambi terus, Fitri pengen ke Bandung, kuliah di sana.”protes Fitri di kala dia ingin mencoba test masuk perguruan tinggi negeri.
“Fit, ayah bukan melarang kamu pergi menuntut ilmu jauh. Ayah senang mendengar semangatmu yang begitu melegakan hati ayah. Tapi, sebagai anak perempuan lebih baik kamu tidak usah terlalu jauh. Kalau nanti terjadi apa- apa denganmu bagaimana? Kita kan gak punya sanak keluarga di sana.”jelas Pak Irham dengan hati- hati. Karakter Fitri yang keras harus dihadapi dengan kelembutan, kalo nggak bisa terjadi perang dunia III.
“Huuh, lagi- lagi itu alasannya.”Fitri tidak bisa kasi penjelasan lagi, tidak akan bisa meluluhkan hati sang ayah. Kalau sudah A, harus A dan akhirnya Fitri mengambil keputusan tuk kuliah di kotanya mengambil jurusan Psikologi.
Sementara adik laki- lakinya yang jaraknya berada di bawahnya satu tahun diberi izin untuk mengambil jurusan Teknik di kota Padang. Kasian benar anak perempuan ini, pikir Fitri kala itu.

“Sudah lama gak turun hujan ya, Mak?”tanya Farhan sembari menyerakkan ubi halus di atas tanah kering dan tampak berlobang.
“Iya, sudah ada kira- kira 2 bulan 2 minggu, dan hujan terakhir itu hanya gerimis sebentar yang tidak sempat membasahi alam.”jelas Mak Irham.
“Jadi, usaha apa yang udah masyarakat lakukan Mak?”tanya Farhan merasa cukup prihatin dengan kondisi yang ada. Betapa sungguh kasihan para petani yang tidak bisa berproduksi akibat kemarau panjang, dan tentu saja keluarga mereka yang mana ayahnya juga seorang petani.
“Kita sudah sempat memanggil dukun untuk menghadirkan hujan di kampung ini, namun belum berhasil. Dan sekarang kita sedang menjalankan anjuran dari orang pintar dari kampung terdekat untuk mencipratkan air di setiap teras rumah subuh dini hari. Hanya itu yang bisa kita usahakan sekarang,”Mak Irham menjelaskan dengan hati- hati. Ia mengerti bahwa tindakan yang mereka lakukan itu sudah menyimpang dari ajaran agama dan tentu anak laki- lakinya sangat tidak setuju. Namun, apa hendak dikatakan itu sudah perintah dari kepala desa demi kebaikan bersama.
“Apa? Jadi penduduk kampung sekarang berbuat syirik? Dan mamak ayah juga ikut?”, spontan Farhan memburu pertanyaan kepada mamaknya.
“Farhan, setelah selesai kasi makan ayam segera kau susul ayah ke ladang ya. Biar kita bongkar saja cabe itu, tidak ada harapan lagi ayah lihat,”suara ayah terdenar dari pintu depan.
“Baik yah,”jawabku langsung dan tidak ingin beralih dari pembicaraan dengan mamak.
“Semula mamak dan ayahmu menolak untuk melakukan itu semua, tapi kami tidak memiliki daya untuk menentang perintah Pak Jamil, kepala desa kita. Haji Badar dan keluarganya pun tidak menentang perintah ini, apalagi kami ini yang belum haji, yang ilmunya belum seberapa,”Mak Irham menjelaskan panjang lebar.
“Astagfirullah, Mak. Bukankah sudah kita pahami bersama bahwa haji belum menjamin seseorang itu lebih baik? Kita pun jelas mengerti bahwa tindakan syirik seperti itu adalah dosa besar.”kata Farhan dengan agak keras. Walaupun tidak begitu paham benar tentang agama mereka, tapi untuk hal seperti ini sudah benar- benar tertanam dalam pikiran Farhan bahwa itu adalah dosa besar. Seperti yang ia pelajari ketika bersekolah di aliyah 2 tahun yang lalu.
Bukankah kita bisa meminta kepada Allah dengan solat istighashah? Bukankah kita yakin bahwa Allah adalah sebaik- baik tempat meminta? Itu yang selalu kuingat dari mamak.
Itu yang kupikirkan dalam perjalanan menuju ladang. Sedih dengan kondisi tanam- tanaman para petani yang kering kerontang menemani perjalanannya, dan lebih sedih lagi dengan kondisi dan sikap masyarakat kampungnya dalam menghadapi ‘bencana’ ini. Apalagi keluarganya juga turut melakukan kemaksiatan itu.
“Bah, pulang kau Cok?”tanya tulang Ramli yang kebetulan baru pulang dari ladang membawa kayu bakar dalam beko merah. Kayu kopi yang sudah cukup kering dan segera bisa digunakan untuk menanak nasi dan lauknya.
“Iya Tulang, libur semester jadi dimanfaatkan untuk bantu orangtua. Walau sedikit agak kecewa. Aku terdiam, begitu juga Tulang Ramli yang melihat raut wajahku sedikit berubah.
“Oh ya, gimana kabar Sofi Tulang, dimana dia kuliah?”tanya Farhan mengalihkan pembicaraan mereka. Sofi adalah anak tunggal Tulang Ramli yang seumuran dengan Farhan.
“Dia sekarang di Bogor, mengambil jurusan Astronomi. Insya Allah hari Minggu ini akan datang bersama teman- temannya yang ingin berkunjung ke kampung kita dan meneliti tentang musim kemarau yang tidak kunjung berakhir. Nanti boleh lah kau sambut mereka juga, biar ada Nampak orang berilmu di kampong kita ini.”jelas Tulang Ramli dengan senang hati.
“Insya Allah Tulang, hari Minggu kuusahakan datang ke rumah. Mungkin ayah sudah nunggu lama, sampai jumpa nanti di mesjid Maghrib ya Tulang,”kataku sambil bergegas.
“Oke, Insya Allah,”jawab Tulang Ramli setegah berbisik. Solat ke mesjid? Hal yang sudah lama ia tinggalkan sejak musim kemarau melanda kampung mereka. Ada perasaan menuntut dan tidak mendapat perlakuan yang adil dari Tuhan atas kampung mereka. Akibatnya, kampung yang dahulunya memiliki jamaah solat Maghrib lebih dari satu shaff, kini tinggal dua atau tiga orang. Itu pun hanya Atuk Hasan yang memang tinggal di mesjid dan Pak Tono beserta anak laki- lakinya yang berusia 6 tahun. Sedangkan di waktu solat lainnya, Atuk Hasan lebih sering merangkap tugas sebagai mu’adzin, imam, dan makmum sendiri.

“Yah, benarkah apa yang disampaikan Mamak kemarin padaku? Bahwa kalian berdua dan seisi kampung telah menyekutukan Allah dalam hal permintaan bantuan hujan?,”aku mencoba menggali informasi yang akurat dari ayah ketika kami akan berangkat ke mesjid menunaikan solat Maghrib.
“Tidak perlu kau campuri, Farhan. Belajarlah sungguh- sungguh, rajin solat dan mengaji. Cukup.”ayah seolah tidak senang membicarakan hal itu. Sepertinya ayah pun merasa bersalah dengan tindakan yang ia lakukan walau tidak pernah ditunjukkan lewat protes keras kepada kepala desa yang member perintah. Namun kulihat dari raut wajah ayah, wajah yang sudah kukenal. Ketaatannya beribadah patut kubanggakan walau saat ini agak sedikit mengendur. Kucoba menguatkan ayah kembali, menghadirkan kenangan indah kami ketika ayah dengan berbagai teknik jitunya mengajakku solat ke mesjid. Dan aku pun tertaklukkan oleh kelembutannya.

“Bagaimana ini Pak, hujan tidak kunjung turun. Padahal kita sudah menuruti segala perintah orang pintar itu,”protes beberapa warga kampung ke kantor kepala desa. Keresahan semakin tergambar di wajah para warga yang sebagian besar adalah para petani cabai yang terpaksa membongkar cabai mereka karena tidak ada lagi harapan untuknya tumbuh berkembang. Kekhawatiran semakin menghantui mereka akibat tindaka yang mereka ambil untuk penyelesaian masalah ini, menyekutukan Tuhan. Hal yang seumur- umur baru kali ini mereka lakukan, namun tidak juga bisa menurunkan hujan di tanah kering mereka. Penyesalan yang akhirnya hadir.
“Kita harus lebih bersabar lagi, Pak. Mungkin waktunya belum cukup, kita usahakan saja lagi.”kata kepala desa dengan pasrah. Tidak ada lagi yang bisa disarankannya kepada warganya selain berusaha sedikit lagi. Dengan wajah yang diusahakan tenang dan berwibawa, namun dalam hati sudah sangat khawatir dengan kondisi yang menimpa kampung mereka.
“Sabar gimana lagi, Pak? Sedikit pun tidak ada tanda- tanda hujan. Kita sudah dibohongi oleh orang pintar itu, hanya ingin meraup untung dari kita yang sudah kering ini.”jawab salah seorang warga dengan penuh semangat.
 Dapur pun sudah mulai jarang berasap, anak- anak yang tidak bisa lagi bersekolah karena harus mencari sumber air ke kampung seberang untuk menyirami tanaman jagung atau terung mereka yang sudah hampir berbuah dan sayang untuk ditinggalkan begitu saja. Minimal bisa untuk konsumsi pribadi jika memang nanti hasilnya kurang layak dipasarkan.
“Jadi sebaiknya kita hentikan saja ritual itu, kita kembali meminta kepada Tuhan, Sang Pemberi Rahmat yang selama ini kita lalai padaNya. Tidak menutup kemungkinan bahwa bencana ini tidak kunjung berakhir disebabkan sikap kita yang telah menyekutukanNya. Padahal yang selama ini kita ketahui bahwa masyarakat kita taat beribadah sehingga menjadi kebanggaan bagi kita. Marilah kita kembalikan lagi suasana religious di kampong kita, mulai dari keluarga kita dan kemudian seluruh warga akan kembali meminta hanya padaNya.”sambung farhan yang turut hadir mencoba memberi solusi. Yang lain manggut- manggut, tidak terkecuali kepala desa yang merasa malu kepada warganya. Apalagi kepada anak muda yang punya pemikiran cerdas jauh darinya. Dan mulai sekarang, gerakan ketaatan beribadah akan semakin dihimbau kepada warganya. Harapan mereka hanyalah kepada Tuhan Yang Esa, Pemilik Jagad Raya.

Seminggu, dua minggu, tiga minggu, belum juga ada tanda- tanda akan turun hujan. Keresahan kembali menghantui beberapa warga yang semakin melemah. Namun tidak bagi mereka yang benar- benar yakin akan pertolongan Tuhan orang yang taat pada Nya.
Sofi dan teman- temannya yang sudah berada di kampung kurang lebih seminggu juga merasakan keresahan yang dialami warga. Bersama Farhan, mereka mencoba memberi pemahaman kepada warga semampu mereka, menoba untuk tidak semakin memperkeruh suasana dengan keluhan- keluhan yang sebenarnya layak mereka sampaikan. Mahasiswa yang biasanya dilengkapi dengan segala fasilitas di kota, lebih dari seminggu menghadapi masalah- masalah yang membuat mereka tidak nyaman. Namun berkat kesabaran dan pengetahuan yang mereka miliki, semua dijalani dengan senang hati. Berharap semuanya akan normal kembali. Warga muslim dengan penuh khusyuk mendirika solat meminta hujan secara berjamaah.
“Farhan, coba kau lihat langit di sebelah barat daya. Bukankah itu awan yang menghitam pertanda hujan akan turun?”Mamak menunjuk ke langit ketika kami sedang menyiangi rumput yang menempel ke dinding rumah, menandakan penghuninya jarang memperhatikan. Sibuk dengan kerjaan di ladang yang bagi mereka lebih penting dan menghasilkan.
“Alhamdulillah, benar Mak. Tunggu biar kubangunkan ayah dan k’ Fitri untuk menyaksikan turunnya rahmat ini bersama- sama.”bergegas masuk ke rumah dan membangunkan yang terlelap lelah memikirkan tanah kami yang kering.
Ternyata sudah ramai yang berdatangan ke tanah lapang yang tidak lain adalah halaman kami yang merempet dengan lapangan sekolah dasar tempatku belajar huruf a-z kala itu. Anak- anak kecil membuka baju mereka agar bisa mandi hujan perdana yang sudah lama dinantikan. Akhirnya, Alhamdulillah hujan turun setelah penantian yang cukup lama, tepatnya 4 bulan 1 minggu. Semua bersorak riang, tidak sedikit yang sujud syukur sambil berlinangan air mata mengucapkan syukur atas terkabulnya permohonan mereka. Menangis tersedu- sedu atas kesalahan besar yang telah mereka lakukan selama penantian turunnya rahmat ini. Dan kini semakin jelas bagi mereka akan kekuasaan Tuhan karena Dialah sebaik- baik penolong. Hujan kali ini pasti memberi berkah bagi segenap penghuni alam yang yakin pada Nya.




0 komentar:

Post a Comment

 
Baca Juga:
Langganan
Get It