“Hari ibu boy,” kata Faza kepada sohibnya Harfi.
“Hah, emang sejak kapan dideklarasikan? Pake hari ibu segala, ribet ah. Wong tiap ari aku Sms an sama mamak di sana kok. Tanya kabar, dan sering juga aku telpon.”kata Harfi yang sewot melihat Faza sibuk memintanya memegangi kertas plastik untuk dilekatkan ke bungkus kado yang katanya akan dikirimnya ke seberang lewat TiKi.
“Gak bisa gitu boy, walau memang kenyataannya tiap hari kita harus sayang Ibu, tapi tidak apa lah sekali- sekali kita kasi yang spesial untuknya. Kita manfaatkan hari Ibu ini, kan gak hal yang tasyabbuh seperti halnya perayaan Tahun Baru Masehi,”jawab Faza sambil terus merapikan kado yang bersampul merah muda dengan sangat sulit.
Maklum, ini kali kedua ia membungkus kado. Kali pertama ketika ibunya memintanya membungkus kado pernikahan tetangganya 2 tahun silam ketika ia berada di kampong liburan.
“Hehehe, dah pinter ya ente sekarang. Pake tasyabbuh segala, gak sia2 kita belajar sama Bang Udin selama setengah tahun ini. Banyak perkembangan padamu boy. Tuk hari ibu, bener juga . Apa salahnya kita kasi sebuah surprise untuk menunjukkan betapa bersyukur dan senangnya kita memiliki beliau. Baik, akan kulakukan. Niih, “Harfi menyerahkan staple kepada Faza dan segera beranjak pergi ke kamar.
“Heh, ini belum siap bro! Siapkan satu- satu dulu, Allah pun menganjurkan Jika telah selesai satu urusan, maka kerjakanlah urusan yang lain dengan sungguh- sungguh..,”setengah berteriak Faza menyebutkan salah satu ayat Al Qur’an yang dia pun lupa surah apa.
“Dahulukan lah yang penting dan mendesak, gitu kata Bang Udin,”terdengar teriakan Harfi dari dalam kamar.
“Hadeeeh, 2 ilmuwan berbicara,” gumam Faza sambil terus merapikan bungkusan kadonya yang semakin membingungkannya akibat kertas plastik yang sulit untuk diajak kompromi.
Hari ini ibu sedang apa ya. Harfi merenung di bilik kamarnya yang berukuran 3x4 m ditemani tumpukan buku2 dan kumpulan soal- soal SPMB beberapa tahun yang lalu. Pasti sedang mempersiapkan nilai2 rapor anak muridnya yang akan dibagikan 3 hari lagi. Biasanya Harfi lah yang membantu ibu menjumlah nilai2 ujian, membagi, mengambil rata2, nilai mentah, nilai setengah matang, dan nilai matang. Setelah itu memindahkannya ke kertas folio dengan rapi dan teliti. Biasanya saat pembagian rapor sudah dekat, ibu akan kocar- kacir kelabakan dibuatnya. Pasalnya murid ibu selalu banyak, lebih dari 30an orang. Murid terbanyak dibandingkan kelas yang lain. Resiko ibu memang yang sudah senioran di SD Inpres 096115 Hayamwuruk, jadi ibu dianggap paling bisa dibandingkan guru yang lain.
Tidak pernah mengeluh, ini yang menjadi salah satu kebanggaanku pada sosok ibu yang kukenal sejak 18 tahun yang lalu. Tidur hingga larut malam pun direlakan demi selesainya tugas mulia yang sudah diamanahkan kepada ibu. Biasanya aku akan menemani ibu dengan menyediakan air hangat untuk ibu dan aku sendiri segelas kopi pahit yang menjadi favoritku. Bukan ingin senang sendiri, ibuku memang lebih suka air putih hangat. Dan aku akan bercerita tetang kehidupanku di perkuliahan, perantauan, teman2ku, kelompok ngajiku yang cukup membuatku rajin ibadah padahal awalnya ibu sempat sangsi mengantarku ke kota, takut tidak terkontrol karena memang aku orangnya cukup bandal dan jarang solat . Biasanya ibu akan menanggapi dengan senyuman yang cukup ikhlas dan membuatku senang untuk terus bercerita, hingga akhirnya,
“4x80= 240?? Benar itu Mang?,” tanya ibuku yang tampak bingung. Aku berhenti bercerita, 4x8=.. . aku berpikir sejenak, ah seolah pertanyaan sulit. Bukan Mak, 320 hasilnya,” kuberikan tipex kepadanya yang sudah terlanjur menuliskan angka 240 di penjumlahan 4 kali ulangan harian. Kuhentikan ceritaku, menunggu kondisi aman kembali. Panggilan mang yang Mamak beikan padaku cukup menyejukkan hatiku. Suda h lama aku tidak mendengar kata itu, maklum di kota tidak ada yang paham akan panggilan itu. Boy, bro, ente, sob, dan panggilan keren lainnya menemaniku. Namun tidak ada yang dapat menggantikan kata mang.
Sekarang, maaf Mak. Aku tidak bisa membantu. Banyak hal yang harus keselesaikan di sini dalam liburan ini. Urusan pertukaran pelajar ke Jepang yang tidak kunjung selesai karena katanya harus ada surat keterangan dari Pembantu Rektor I, II, III, IV padahal sekarang hanya satu dari mereka yang ada di tempat, sementara yang lain sedang ada kunjungan ke universitas lain. Kemudian, lamaran yang kuberikan ke perusahaan sedang menunggu pengumuman yang aku optimis diterima di sana. Dan satu lagi, impianku menjadi penghapal Al Quran yang selama ini mandek ingin kumantapkan dalam liburan ini. Dan satu lagi, di penghujung Desember ini aku ada amanah di kepanitiaan sebuah big event, dan aku yakin engkau pun pasti memintakku untuk selalu bertanggungjawab.
Mungkin teman2 ku yang lain sudaha pada pulang ke kampung masing2 dengan membawa oleh2 hasil kerja mereka, bercengkerama dan membahagiakan ibu mereka. Namun di sini aku tidak bisa mewujudkannya saat ini, Mak. Ada saat yang lebih tepat nantinya aku berada di sisimu menemanimu. Tidak akan lama, setelah selesai urusan ini aku akan segera kembali Insya Allah.
Mohon maaf ku padamu, Ibu…
Harfi melipat kertas dengan hati- hati. Membentuk lipatan terindah yang pernah dipelajarinya di acara training ikhwan beberapa bulan yang lalu. Alhamdulillah…
“Faza… come here! This will be more powerful, hehehe,” Harfi berteriak memanggil Faza yang tidak kunjung selesai membungkus.
“Heh, kalau begini ceritanya petugas TiKi pasti tidak sudi ngantar titipan ini. Kebanyakan umbai- umbai siiih, liat punya gue ni, Simple but Sure,” Harfi memperlihatkan surat cintanya yang selesai dalm kurang lebih 30 menit plus dihias sedemikian rupa untuk dititipkan ke TiKi bersama seperangkat alat solat untuk Ibunya yang pasti sedang merindukannya.
Faza terdiam, hasil kerjanya tak kunjung beres.
Help me please, katanya lirih.
Happy Mother’s Day, Mamak ku Tercinta…
Harfi menuliskannya besar2 di sampul kadonya dan kado Faza yang sudah rapi.
Des22, 2010
Laudendan tak berdendang kini
0 komentar:
Post a Comment