Tawuran antara siswa
SMA 6 dan SMA 70 Jakarta Selatan, pada Senin,
24 September 2012 kembali melukis duka dalam dunia pendidikan Indonesia. Ini
bukan pertama kalinya terjadi di kedua sekolah ini. bak ibarat tradisi yang
diturunkan ke setiap generasi , seolah ada permusuhan yang mendarah daging
diantara siswa di sekolah ini. tahun lalu,
kondisi parahnya seorang siswa yang terlibat luka parah dan
Alhamdulillah masih bisa diselamatkan. Namun tawuran kali ini tidak bisa
ditolerir. Alawy Yusianto Putra, siswa
SMA 6 meninggal setelah mendapat luka tusukan di bagian dadanya. Lantas apa
yang patut kita lakukan?
Menelisik dunia
pendidikan kita, banyak kegonjangan di sana- sini. Tidak hanya dari kalangan
siswa, namun ternyata itu juga diawali dari tindakan para guru yang dirasa
kurang layak dilakukan oleh tenaga pendidik. Bagaimana mungkin seorang guru lebih
memilih untuk member hukuman berupa pukulan keras daripada member I hukuman
yang mendidik. Ketidakstabilan emosi dari para guru yang kemudian membawa
masalah keluarga ke dunia sekolah menjadikan interaksi tidak lagi layaknya
seorang anak kepada ibu/ bapak. Padahal yang kita pahami bahwa guru adalah
orangtua siswa di sekolah.
Beranjak dari kondisi
guru tersebut, kita kaitkan dengan pola interaksi yang dibina antara siswa
dengan siswa lainnya. Hubungan yang seharusnya sudah terjalin layaknya saudara
yang senasib-sepenanggungan, namun ternyata terbalik 180 derajat. Tidak ada
lagi rasa saling memiliki hingga keegoan hadir dalam setiap aksi. Tawuran yang
terjadi di sana- sini, dendam yang sudah mendarah- daging, hingga sekolah bukan
lagi tempat pembentukan akhlak yang baik.
Miris melihat kondisi
hari ini. lantas apa yang patut kita lakukan selaku oarng yang masih peduli
dengan masa depan generasi penerus? Kita patut mencari latar belakang dari
permasalahan yang terjadi di kalangan siswa saat ini. ada satu hal yang selama
ini mungkin terlupakan oleh kita. Dunia sekolah yang hanya dianggap sebagai
tempat menuntut ilmu dunia hingga melupakan sisi- sisi keagamaan (akhlak).
Kemerosostan akhlak di kalangan siswa adalah awal dari lahirnya permasalahan
ini. siswa yang tidak lagi sopan pada guru, siswa yang rela mengorbankan teman
sendiri demi nilai yang memuaskan, hingga siswa yang merasa bahwa dial ah orang
paling hebat hingga merelakan segala cara untuk mencapai apa yag dia inginkan.
Solusi
Sia- sia jika kita
hanya berbicara tentang permasalahan tanpa menghadirkan sebuah solusi. Untuk menanggapai permasalahan ini, perlu adanya
pembinaan akhlak kepada siswa. Keberadaan
satu organisasi internal di lingkungan sekolah harapannya dapat
dimaksimalkan fungsinya. Sebut saja Rohis/ PHBI yang menjadi pusat kegiatan
keagamaan di sekolah. Peran organisasi ini patut digencarkan mengingat
merosotnya akhlak dari para siswa. Peningkatan program dari orgnisasi ini perlu
dipandang serius oleh para Pembina atau guru- guru agama Islam.
Siapapun yakin bahwa
jika seorang anak dididik dan dibesarkan dalam nilai- nilai keagamaan yang
kental, maka dirinya akan terjaga dari perbuatan buruk. Ketika shalat lima
waktu sudah menjadi satu kebutuhan dan terlaksana dengan baik di kalangan
siswa, maka bentuk kejahaatan akan terhindar dari mereka. Allah telah
berrfirman dalam QS. 29:45, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan
keji dan mungkar”. Jadi yang perlu kita lakukan adalah bagaiamana caranya
agar setiap siswa mendirikan shalat lima waktu.
Rohis/ PHBI dapat
dijadikan sebagai wadah untuk mengajak para siswa agar lebih dekat dengan
agamanya hingga setiap kegiatannya terjaga dan jauh dari keburukan. Organisasi
ini bisa memperbanyak intensitas pengajian di kalangan siswa dan melibatkan
para guru yang beragama Islam. Kajian- kajian yang dibuat tentulah jauh dari
apa yang selama ini diperbincangkan oleh media yang mengkaitkan organisasi
islam ini dengan teroris. Banyak sudah testimoni yang mendukung bahwa mereka
yang ikut dalam kegiatan Rohis/ PHBI menjadi lebih baik. Siswa yang dahulunya
ogah- ogahan belajar, setelah mendapat motivasi di kegiatan Rohis/ PHBI menjadi
semangat menggebu- gebu. Tidak hanya itu, banyak juga siswa yang semakin cinta
kepada orangtuanya hingga tidak rela rasanya menyia- nyiakan jerih payah
mereka untuk biaya sekolah.
Fakta- fakta ini patut
kita pandang dengan penuh bijaksana. Keberadaan Rohis/ PHBI ternyata mampu
membendung maraknya tingkat kekerasan di kalangan siswa. Oleh karena itu,
sepatutnya dinas pendidikan membantu menggiatkan Rohis/ PHBI atau organisasi
Islam lainnya di sekolah di samping mata pelajaran agama yang dianggap masih
kurang untuk bekal menghadapi zaman seperti ini. ketika pihak pemerintah dan
sekolah bergandengan tangan meningkatkan akhlak siswa, insya Allah kejahatan-
kejahatan akan berkurang. Karena sesungguhnya perbaikan akhlak adalah pondasi
utama untuk sebuah kejayaan. Bukankah Rasul pun diutus ke muka bumi hanya untuk
menyempurnakan akhlak? Anak Rohis, Anti
Tawuran!(260912/san)