UKMI Ar- Rahman menerimaku apa
adanya. Ya, tidak berlebihan. Saat aku belum bisa membuat surat, aku tidak
langsung dipecat sebagai panitia sie Adm. Kesek. Pun ketika LPJ kepanitiaan perdanaku hancur berkeping- keping Aku dibimbing hingga aku mampu
dan memutuskan bahwa indahnya ukhuwah yang ada di rumah ini. Hangat dan
bersahabat.
Hingga suatu saat aku diberi
amanah untuk mendesain sebuah spanduk, apaan? Aku yang tidak punya track record
yang baik di bidang ini malah diminta untuk mendesain. Parahnya, ini adalah desain
pertamaku dan untuk acara besar. Kebayang kan gimana? Aku sibuk mencari kakak/
abang yang bisa membantuku. Satu hal yang luarbiasa dariku saat itu (hehe), aku
ingin kasih karya terbaikku. Ke sana kemari hingga aku bertemu dengan kakak/
abang yang t-o-p banget di sana. Haah, indah sekali. Baru ini kudapati sosok
penyabar yang mau membimbingku. Dia? Dibilang saudara sekampung, gak. Teman
baik kakakku, juga tidak. Anak kenalan ortuku, ah jauh sekali. Mmmh, kenalan
lama? Wah, aku baru saja dapatkan no HP nya dari murobbi ku malam lalu. Tapi
sampai begini dia melayaniku aku? Dengan setia mengajariku yang tidak ikut
TK hingga kurang lihai bermain dengan warna. Subhanallah, aku baru tau ini yang
namanya ukhuwah. Eh, bukan nama kakak itu si ukhuwah. Tapi ikatan ini.
Dan terakhir, aku kembali diuji
untuk mengumpulkan dana. Wah, lagi- lagi track record ku buruk untuk yang satu
ini. Manajemen uangku yang tak seberapa juga masih kewalahan. Si kakak ini
apaan sih? Kayaknya pengen acaranya defisit ini. Haaaah… tak habis- habis aku
menggerutu. 25 juta rupiah, wah darimana kami mencari dana ini? Kasak- kusuk,
memberanikan diri presentasi acara di depan sang dosen, anggota DPRD, sampai
nyaris ke gubernur. Haah, public speaking ku hancur kali.
Eh, si Farhan kan sie Acara?
Kenapa dia juga sibuk- sibuk jualin donat dan kue- kue kami dari sie Dana?
Subhanallah, aku kembali terkagum- kagum dengan yang namanya ‘ukhuwah’. Memang
aku pernah merasakan hal seperti ini waktu di SMA ini, namun aku tidak tahu
mendefinisikannya. Ternyata ukhuwah, indah sekali. Beda! Kalau aku di SMA dulu,
mereka yang membantu karena ingin mendapat perhatin guru agama trus dapat nilai
bagus. Lha kalau di sini? Perhatian siapa yang mau dicari? Gak
dilirik atuh sama dosen agama! Kakak/ abang kelas? Rasanya gak ada gunanya,
toh mereka gak akan ngasih sedikit penghasilan mereka. Perhatian siapa?
Yep, siapa lagi kalau bukan perhatian Allah. Bukankah Allah cinta sama muslim
yang mencintainya saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri? Kita gak
mau dong saudara kita lelah sendiri. Subhanallah, indah sekali rumah
ini.
Lalu aku menjadi pengurus di
rumah ini. Gak tanggung- tanggung. Aku jadi koordinator. Atau kalau bisa
dibilang kepala rumah tangga. Yang pasti aku gak pernah berharap ini pernah
kupegang, gak pernah bermimpi ini bakal jadi cerita untuk anak cucuku kelak.
Ini rumahku.
Aku harus bisa menjaganya
agar tetap bersih dan nyaman untuk dihuni. Aku tak ingin satupun penghuni rumah
merasa tidak diperhatikan dan tidak dirasakan keberadaannya. Aku bersyukur
karena mereka semua baik, ramah, dan cerdas. Satu hal, ibadah mereka lho!
Gak kenal waktu dan tempat, mereka terus meningkatkan ibadahnya. Bayangin aja
waktu kami naik gunung dan ada istirahat sebentar, Al Qur’an menjadi penetrasi
nafas mereka yang tersengal- sengal. Subhanallah, aku mau tidak mau juga
mengeluarkan Al Qur’an miniku dengan hati- hati. Ya, barang- barang dalam tas
ranselku berantakan akibat ini pendakian perdanaku hingga aku harus membawa
banyak sekali perlengkapan dan serasa sibuk sendiri mengurusinya. Haaah,
sudahlah.
Gak hanya itu, siap shalat kami
biasakan untuk tilawah. Hingga masjid kampus itu seolah menjadi base camp kami yang dihiasi dengan lantunan ayat
suci Al Qur’an. Yah, walau pun kuakui suara kami gak sebagus si kawan yang udah
ikut MTQ nasional, namun kami sedikit banyaknya benar tajwidnya. Aku
pertama kali bergabung sama mereka merasa ini bukan kampus negeri seperti
kebanyakan. Ini seolah pesantren kalau
waktu shalat telah tiba.
Ini rumah keduaku.
Ada banyak agenda yang harus kami
selesaikan dalam satu periode kepengurusan. Hebat sekali saudara- sauadaku yang
lebih sering kusebut dengan panggilan akhi/ ukhti. Mereka bisa memanajeman
waktunya dengan padatnya agenda yang harus mereka selesaikan. Agenda dakwah
bukan menjadi penghalang bagi mereka untuk bisa berprestasi, aku juga tentunya.
IP mereka masih bisa dibilang bagus dan keaktifan
di kelas juga masih bisa dibanggakan. Ikhwan dan akhwat itu memang luarbiasa.
Lalu, apa lagi tentang penghuni
rumahku?
Mereka semaksimal mungkin untuk
tidak membicarakan hal- hal yag sia- sia. Jika ada yang bermasalah diantara
kami, misalnya ada kabar angin yang tak jelas sumber dan informasinya, mereka
upayakan untuk tidak menyebarnya. Tabayyun kata mereka. Ya, tabayyun hingga
tidak ada yang merasa terzhalimi. Jauh berbeda dengan penghuni rumahku yang
lama. Mereka seneng banget tuh kalau ada saudaranya yang agak lain dikit, trus
seantero dunia tau akan hal itu.
Ini rumah keduaku
Apa yang membuat kami betah dan
berlama- lama di sini? Bahkan saat libur tiba, kami tidak sepenuhnya bergembira
seperti teman- teman tetangga kami. Ya, kami bersedih. Berpisah dengan saudara
yang menginginkan saudaranya lebih baik setiap hari hingga hari demi hari
adalah proses yang terus mendewasakan kami. Kami bisa bertahan di sini, tidak
lain karena kekuatan hati. Bersyukur atas keimanan yang dikaruniakan Allah pada
kami hingga kami benar- benar merasakan keluarga ini adalah keluarga yang sakinah
mawaddah wa rahmah. Aku bahkan belum mampu membayangkan gimana nanti ketika
aku sudah selesai kuliah, akankah kutemukan keluarga yang sehangat ini? Semoga.
Semoga kita selalu berupaya
menjaga Allah hingga Allah akan menjaga kita dengan penjagaan yang tak satupun
zat di dunia ini mampu menandingi penjagaanNya.
*Salam ukhuwah kepada keluarga
besar UKMI Ar- Rahman UNIMED. Hangat dan bersahabat.
(si aku bisa siapa saja)
2 komentar:
masya Allah..
Post a Comment