Bersinar kau bagai cahaya
Yang selalu beriku penerangan
Selembut sutra kasihmu ’kan
Selalu rasa dalam suka dan duka
Yang selalu beriku penerangan
Selembut sutra kasihmu ’kan
Selalu rasa dalam suka dan duka
(Haddad Alwi feat Farhan, “Ibu”)
Ibu, terimakasih telah memberi ku
ruang. Sangat lebar.
Saat aku masih berumur 4- 5
tahun, kau beriku kebebasan. Puas. Dinding rumah kita yang tak lain adalah perumahan guru SD Inpres berhasil kuhias. Sukses!
Dan engkau hanya tersenyum. Walau aku tak tahu apa yang akan terjadi kemudian. Lalu
kuterbangun di tengah malam mendengar usapan- usapan pada dinding. “Kenapa dihapus
Ibu? Itu kan lukisan adek”, tanyaku merengut setengah picing mata.
“Yah, biar besok adek punya
tempat lagi tuk melukis. Makin bagus pastinya,” jawabmu sambil membelai
rambutnya. Lalu aku pulas, dan tak tau sampai jam berapa engkau
membersihkannya.
Dan aku masuk SD.
Yah, memang kala itu TK masih sulit ditemukan. Kalaupun ada, pasti di pusat
kota yang memakan waktu lama untuk kesana. Tapi aku sudah merasa puas, TK
bersamamu, Bu. Hanya bersamamu dan dinding rumah kita. Aku SD di sekolahmu, dan
lagi- lagi aku berguru padamu. Tapi beda, engkau sungguh bijaksana dan amanah
akan semua tugas yang engkau emban. Semua kami di kelas diperlakukan secara
adil. “Kenapa adek tadi dihukum di kelas, Bu?”. Lagi- lagi engkau hanya tersenyum
dan melanjutkan memotong kangkung.
Aku mulai
menemukan hobi baru. Membaca. Lumayan bisa diandalkan. Tentunya buku yang
kubaca berbau cerita anak dan engkau tau apa yang kuinginkan. "Faris dan Haji
Obet" menjadi hadiahku yang dapat juara kelas. Masih kusimpan sampai sekaranng,
Bu. Kisah yang begitu inspiratif walau aku tak tahu dimana buku sebagus itu
bisa engkau temukan 10 tahun lalu. Dan aku tahu kini, jauh- jauh hari engkau
sudah memesan kepada anak rekan guru yang kuliah di kota. Subhanallah, sungguh
besar perhatian dan kasih sayangmu padaku.
Tidak cukup
itu. Engkau dengan senag hati membebaskanku dari kerja- kerja rumah itu saat
aku sedang asyik dengan buku- buku ceritaku. Yah, ada banyak koleksiku kala
itu. Lagi- lagi, semua itu berkat usahamu. Tanpa malu engkau meminjam kunci
perpustakaan kepada kepala sekolah agar aku bisa melayari semua buku yang ada
di sana. Sampai aku tertidur bahkan di atas tikar teras kita. Dan saat bangun,
aku mandi dan semua pekerjaan rumah sudah egkau selesaikan. Sungguh, aku malu
padamu, Bu.
Menginjak SMP,
engkau mengantarkanku ke SMP yang ada di kota dengan nilai sangat memuaskan. Aku
makin gila belajar samapi kadang lupa waktu. Tengah malam engkau temani aku
yang sedang menghafal, atau sekadar mengulang pelajaran. Hebatnya, aku mendapat
suguhan darimu. Secangkir teh manis hangat yang warna dan rasanya pas sekali
dengan seleraku. Tidak berhenti hanya dengan duduk diam, engkau ambil jarum
jahit dan menjahit celana olahragaku yang koyak akibat cara dudukku yang tak
beraturan saat melepas lelah setelah lari 9 keliling putaran lapangan sekolah. Sedikitpun
aku tidak peka kala itu. Harusnya aku tidur terlebih dahulu lalu bangun tengah
malam untuk menyelesaikan tugas ini. Ibu tidak akan tidur duluan sebelum
anaknya tidur, itu yang belum kupelajari benar dari Ibu. Jadilah aku asyik
sendiri dengan angka- angka menghitung rata- rata pertumbuhan penduduk
Indonesia tahun 2003- 2004. Maafku, Bu.
Menjadi juara
umum di SMA dan menjadi perwakilan sekolah untuk olimpiade tingkat kota. Engkau
mengirimku ke pusat kota untuk menuntut ilmu di bangku SMA. SMA favorit yang
menjadi satu kebanggaan bagi orangtua yang bisa menyekolahkan anaknya di sana. Aku
mulai jauh darimu. Aku punya HP tapi engkau tak punya. Aku pun semakin
disibukkan dengan semua agenda sekolah. Apalagi sat itu aku menjabat sebagai
sekretaris pramukan gudep 038, pramuka di SMA ku. Tapi aku sering menangis, Bu.
Aku sering membayangkan wajah Ibu yang bekerja untuk kebutuhanku. Rasanya prestasi-
prestasi ini belum cukup untuk membalas jasa Ibu. Tapi aku tidak tahu mau
berbuat apa, Bu.
Setelah menyelesaikan
UN dengan tersenyum, aku harus fokus ke persiapan SNMPTN. Lagi- lagi, engkau
kuhiraukan. Namun, kecewaku kenapa engkau tidak pernah memberitahuku bahwa
engkau ingin agar aku di sampingmu ketika tanganmu terluka akibat mencari kayu
di kebun sebelah rumah kita? Pun aku tidak pernah terpikir untuk sedikit
menggantikanmu menemani bapak mengambil hasil kebun kita? Parahnya, aku tidak
peka. Maaf, Bu.
Lagi- lagi
engkau hanya diam dan berkata,”Sudah Nak, fokus saja pada belajarnya. Biar bisa
lulus dan masuk ke sekolah insinyur”. Aku semakin merasa bersalah. Yang ada
dalam pikiranku adalah aku harus lulus pada pilihan pertama, pilihanku dan
harapan kedua orangtuaku. Aku belajar tak kenal waktu, semua kuhabiskan untuk
membahas soal- soal. Tak ayal lagi, aku nyaris jatuh sakit. Semua panic. Dan
engkau? Kulihat airmata menggenang di pelupuk matamu. Dan semua waktumu untuk
menemaniku. Kulihat do’amu panjang sekali sehabis shalat, dan dalam sujudmu
juga. Tak jarang mukenamu basah. Maafku, Bu. Lagi- lagi membuat susah.
Hingga H-2
ujian SNMPTN, aku masih terbaring lemas. Apa katamu? Subhanallah. “Tidak
mengapa Nak, bisa dicoba tahun depan. Yang penting sehat dulu ya”. Aku tidak
tahan. Aku menangis sejadi- jadinya dalam tutupan selimut. Rabb, begitu banyak
kesalahanku pada Ibu.
Aku tidak tahu
pasti bagaimana asal muasalnya. Aku tidak merasakan sedikitpun merasa sakit dan
aku senang. Alhamdulillah. Bahkan dokter pun terkejut dengan perubahan yang
signifikan ini. Aku bisa ujian SNMPTN. Engkau? Sujud lama sekali di mushola
rumah sakit.
Bu, aku lulus…. Aku akan menjadi insinyur dan menjadi penerus pak Habibie.
Kedua kalinya kulihat engkau sujud syukur lama sekali.
Lalu aku
berangkat ke kota, jauh. Lebih jauh tentunya dari sekolahku SMA.
Dan aku
bertanya dalam hati:
Bu, kapan aku
bisa menemanimu? Sebentarpun aku tidak
ada di sampingmu saat engkau butuh. Namun engkau selalu ada saat aku butuh.
Sebegitu EGO-
kah aku, Bu?
0 komentar:
Post a Comment