Kaya? Ya, maaf jika kurang berkenan membahas tentang ini. Materialistis? Wajar, ini tulisan seorang mahasiswa biasa yang tidak ingin terus dalam kekayaan yang biasa- biasa saja. Ikon mahasiswa kaya yang soleh, itu yang akan kita bahas.
Fakta ditemukan di lapangan adalah banyak orang berpikir bahwa menjadi orang soleh itu tidak perlu bersusah payah mencari uang, menumpuk kekayaan. Cukup dengan beribadah (solat, puasa,,, ) dan berserah diri kepada Allah. Persepsi yang sangat keliru namun bisa diluruskan. Anggapan yang mungkin lahir karena melihat fakta di lapanganan dimana akibat berburu kekayaan seseorang lalai akan tanggungjawabnya untuk beribadah kepada Allah. Tidak bisa dipungkiri, kejadian ini sering terjadi. Bahkan mereka yang sudah menimbun kekayaan sebegitu banyakpun masih tetap tidak bisa ‘meninggalkan’nya akibat belum ‘siap’.
Dalam buku ‘Saya Tidak Ingin Kaya tapi Harus Kaya’ buah karya seorang pengusaha sekaligus dai kondang, A’a Gym, beliau memaparkan tentang betapa pentingnya menadi muslim yang kaya. Beliau berpesan bahwa bagi umat muslim menjadi kaya adalah suatu keharusan bukan keinginan. Artinya, itu adalah harga mutlak, tidak boleh ditawar lagi. Bukankah ibadah dalam islam telah menunjukkan akan pentingnya menjadi kaya? Mulai dari solat, dimana kita harus menggunakan pakaian yang suci. Tentu butuh uang untuk menggunakan pakaian terbaik dalam solat. Kemudian, ibadah zakat. Kita dianjurkan untuk memberi. Diperlukan kesanggupan dan kemapanan untuk ibadah yang satu ini. Haji? Siapapun tahu betapa besarnya biaya yang dibutuhkan untuk berkunjung ke sana. Dan satu contoh lagi, dalam hal pengebumian umat islam dianjurkan untuk disegerakan. Misalnya kita berada di luar kota atau luar negeri dan dapat informasi bahwa sanak keluarga kita meninggal. Maka agar tidak menunggu terlalu lama, kita harus bersedia membayar biaya lebih untuk transportasi yang tereksklusif dan tercepat. Itulah beberapa alasan mengapa kita perlu menjadi kaya.
Nah, mari kembali berbicara tentang kita, mahasiswa. Mahasiswa yang semoga saja tidak pernah merasa puas dengan kekayaan yang dimilikinya saat ini. Apakah itu warisan ortu atau memang hasil kerja sendiri. Kembali maaf jika terasa materialistis. Selesaikan hingga akhir tulisan ini. Sudah layakkah seorang mahasiswa muslim memiliki penghasilan sendiri? Dan lebih spesifiknya seorang aktivis dakwah kampus. Mengapa saya tanyakan kelayakannya? Karena khawatir jika frekuensi kita belum sama, persepsi kita berbeda.
Mahasiswa yang kita rata- ratakan berusia antara 19-22 tahun ternyata harus berpenghasilan. Mengapa? Karena memang di usia itulah ide- ide kreatif bermunculan diimbangi dengan berbagai maraknya lembaga- lembaga atau organisasi intra maupun ekstra kampus. Mahasiswa tidak harus hanya sibuk memikirkan IP, kinerja di organisasi. Namun harus lebih dari itu. Bagaimana agar IP yang diperoleh bisa segera dimanfaatkan sebelum wisuda dan bagaimana agar kinerja yang baik di suatu organisasi juga memberi kontribusi jelas bagi masa depannya kelak. Artinya, kemampuan memanfaatkan lahan yang kita miliki sangat diperlukan. Artinya, tujuan jangka panjang harus sudah ter- set dalam pikiran. Bagaimana agar semua yang dilakukan di kampus tidak akan terputus walau nanti telah wisuda, malah itu harus bisa menjadi alat untuk mencapai target masa depan. Bagaiamana dengan mahasiswa yang tidak ada mengikuti organisasi apapun?? Ciptakan prestasi di bidang masing2. Walau memang akhirnya sebuah organisasi akan menampung dan membimbing. Berkumpul dengan mereka yang memiliki semangat belajar tinggi akan semakin memacu diri untuk berprestasi.
Profesi apa yang seharusnya dijalani oleh seorang mahasiswa? Terserah. Jika ia seorang mahasiswa pendidikan, maka mulailah untuk mengajar. Privat kemudian masukkan lamaran ke bimbingan belajar. Tidak ada mereka yang di awal masuk sudah sempurna, semua butuh latihan. Tidak perlu khawatir, yang penting selalu ingat: Continuous IMProvement. Jika menjadi staf pengajar di sebuah bimbingan belajar, satu juta dalam satu bulan bukan hal yang sulit. Dan ini sudah terbukti . Apalagi jika tingkatan sudah meningkat (seperti halnya PNS, ada istilah golongan).Atau jika tidak memiliki minat mengajar, cari jalan yang terasa lebih gampang. Tidak terlalu menuntut waktu, hanya pemikiran yang kreatif. Menulis. Ini juga sudah dibuktikan oleh adik kelas saya, yang saya sedikit ‘iri’ padanya, Sakinah Annisa Mariz. Tulisan beliau yang sudah banyak dimuat dalam berbagai majalah, surat kabar, maupun tabloid. Dan uang pun mengucur.
Jadi sudah saatnya mahasiswa memiliki penghasilan. Bukankah mereka yang berdagang di pasar, toko- toko, tempat rental, game online, warnet, bengkel, dan tempat lainnya juga adalah seumuran mahasiswa? Bukankah banyak waktu yang kosong? Bukankah mahasiswa artinya mereka yang sudah beberapa langkah di depan siswa? Bukankah mahasiswa sudah bisa memanajemen waktu sendiri, sebelum diminta memanajemen waktu oranglain? Jika sudah demikian maka tidak akan ada lagi kita lihat mahasiswa yang hanya duduk bercengkerama di bawah pohon, atau di pelataran kampus membahas hal yang kurang penting. Bukan sekali dua kali, tapi kesehariannya memang demikian. Ini yang harus kita perhatikan.
Satu lagi dari A’a Gym, kekayaan adalah sigma dari beberapa komponen. Dengan kata lain, kekayaan tidak berdimensi tunggal (kaya harta), tapi memiliki dimensi yang cukup luas yakni kaya ghirah (semangat), kaya input (ilmu, wawasan, pengalaman), kaya gagasan ( ide dan kreativitas), kaya ibadah (amal), kaya hati, dan bonusnya kaya harta.
Kritik dan saran membangun sangat diharapkan.
Semoga bermanfaat. (5/2san)
0 komentar:
Post a Comment