Nama asli Abu Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad al Kinani. Lahir di Asqolan, 12 Sya’ban 773 H. Walaupun berasal dari keluarga yang kaya, namun tidak membuatnya manja. Hafal Al Qur’an di usia 5 tahun bukti kecerdasan beliau.
Sebelum meninggal, ayahnya sudah berwasiat kepada 2 orang alim ulama untuk mengasuh Ibnu Hajar yang masih belia. Hingga akhirnya beliau telah mewarisi kekayaan ilmu dari gurunya dan kekayaan harta dari ayahnya. Semangat menuntut ilmu yang tinggi hingga menjelajahi pusat ilmu seperti Mekah, Madinah, Syam, Hijaz, dan Yaman. Dan kemudian di usia 11 tahun beliau menunaian ibadah haji.
Ibnu hajar sering dijuluki Al hafizh (penghafal hadits). Gelar ini diperoleh ketika beliau belajar kepada Abul FadhlAl Iraqi akibat luasnya keilmuan yang dimilikinya terutama hadits. Bukan hanya di bidang hadits, beliau juga terkenal sebagai ahli di bidang sastra, prosa, dan puisi. Sehingga dia dinobatkan sebagai orang nomor 2 dari tujuh tokoh sastra ternama di zamannya.
Kemudian Ibnu Hajar diangkat menjadi Qadhi Al Qudhat (hakim agung). Ibnu hajar terkenal dengan sikap wara’nya. Harta kekayaan dimilikinya merupakan warisan kedua orangtuanya dan hasil dari usaha yang beliau lakukan. Beliau tidak pernah hina dikarenakan kekayaannya sebab pandangannya yang cerdas tentang harta dan kekayaan.
Ibnu Hajar berpendapat bahwa kekayaan ibarat lading gembalaan binatang ternak. Maka barangsiapa yang mendapatkannya dari jalan yang benar, dan dibelanjakan pada jalan yang benar pula, baik pada nafkah yang baik maupun sunnah, maka harta itu menjadi sebaik- baik bekal dalam beramal ketaatan. Dengan harta kekayaan maka dia dapat memenuhi kebutuhannya. Sehingga sebaik- baik bekal dalam beragama adalah harta kekayaan.
Dia juga mengatakan, “ Adapun orang yang mengumpulkan harta kekayaan dengan jalan yang tidak benar dan ia tidak membelanjakannya di jalan yang diridhai Allah, maka perumpamaannya bagaikan orang yang makan tetapi tidak pernah merasa kenyang. Maka ia ditimpa penyakit berbahaya dan terjerumus ke kebinasaan.
Ada sebuah kisah yang menarik dalam suatu perjalanan Ibnu Hajar ketika dia dikawal oleh ratusan pengawal dengan menaiki kereta kencana indah dan pakaian yang menawan. Di tengah perjalanan mereka, tiba- tiba seorang Yahudi yang miskin, kumuh , dan kusut menghadang mereka. Lalu si Yahudi berkata,” Berhentilah, hai Ibnu Hajar! Aku mau bertanya, bukankah Nabimu pernah berkata,”Dunia itu bagaikan penjara bagi orang- orang beriman dan syurga bagi orang- orang kafir? Tapi tampaknya Nabimu salah, buktinya engkau tampak sangat kaya raya, kemana- mana naik kereta mewah, pengawalamu banyak. Sedangan aku, lihatlah! Aku begitu miskin. Jadi dunia bukanlah syurga bagi orang kafir seperti aku.”
Ibnu Hajar menjawab,” Sabda Nabi tersebut tidak salah. Semua kekayaanku, kemewahan yang aku miliki masih aku anggap sebagai penjara bagiku jika dibandingkan dengan syurga Allah Yang Maha luas dengan segala kenikmatannya. Sedangkan kemiskinanmu, itu adalah syurga bagimu disbanding neraka Jahannam yang akan mengazabmu kelak.
Mendengar jawaban bijak itu, si Yahudi segera mengucap, “Kalau begitu aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusanNya.”
Begitulah ketika kecerdasan, kekayaan ilmu dan harta, serta keluhuran akhlak menyatu dengan pemahaman yang benar terhadap harta dan dunia, maka ia pasti akan melahirkan kebaikan.
Walaupun demikian, Ibnu hajar juga tetap memberi ruang bagi orang yang baranngkali tidak kuat menahan godaan harta, untuk mengambil jalan was- was dan hati- hati. Ia menerangkan, “Orang yang disifati dengan kaya adalah mereka yang selalu qanaah dengan rezeki yang diberi Allah. Ia tidak begitu tamak untuk menambahnya tanpa ada kebutuhan. Sedangkan orang miskin adalah kebalikannya, yaitu oarng yang tidak pernah qanaah dengan apa yang telah diberi. Bahkan ia berusaha keras untuk menambah kekayaannya dengan cara apapun. (Majalah Tarbawi Ed. 246)
0 komentar:
Post a Comment