Kitakah yang mengaku sebagai kader dakwah? Sosok yang katanya seorang pengikut pemahaman salafus shalih? Layakkah kita?
Mari coba perhatikan waktu kita!
Cukupkah kita berikan untuk membaca Al Qur’an? Adakah kita berikan untuk sedikit mengkaji kitab2 para ulama? Dan pernahkah kita luangkan untuk mengikuti kajian2 Islami? Seberapa besar komitmen kita untuk hadir di acara pegajian rutin kita?
Coba kita bandingkan dengan maksimalnya waktu yang kita berikan untuk duduk di depan komputer seraya ber-facebook ria dengan content yang kurang jelas. Begitu komitmennya kita untuk setia di depannya pada jam- jam tertentu. Bolehlah kita bandingkan dengan cukup luangnya waktu yang kita berikan untuk bercengkerama sesama kita- aktivis dakwah- dengan nilai manfaat yang sangat minim. Bandingkan pula dengan begitu maksimalnya waktu yang kita berikan untuk sebuah agenda dakwah yang serasa ‘kering’. Hingga kepada ketikan2 teks dalam bentuk pesan singkat (SMS) yang seringkali melalaikan kita untuk sedikit berlama- lama berzikir usai shalat didirikan.
Tidak hanya itu, kita bahkan kadang lebih memilih untuk berlama- lama membicarakan satu problema yang menimpa seorang kader (walau pada awalnya hanya ingin memberi sebuah solusi, namun berujung sesal dengan habisnya waktu tanpa sebuah peyelesaian) dibandingkan dengan berdiam diri dan berpikir, merenung.. Kita juga terlau sibuk dengan berbagai agenda dakwah, walau beberapa dari kita tidak paham apa esensi dari kegiatan itu.
Intinya apa? Kita tampaknya lebih menjaga manusia daripada Sang Pencipta.
Akibatnya?
Mari perhatikan kondisi kita saat ini. Saat dimana seharusnya tauhid kita sudah benar, namun ternyata urusan basic ini juga masih berantakan. Kurangnya ilmu yang kita miliki menjadikan kita berbuat tanpa arahan yang jelas. Maraknya agenda dakwah yang kita tekuni ternyata belum juga melahirkan lulusan2 yang dapat diandalkan. Agenda2 dakwah serasa bergerak tanpa ruh, layaknya seorang manusia yang tidak punya tujuan hidup. Hanya berjalan mengikut arus tanpa ada alas an kenapa harus itu hingga tidak ada komitmen. Terombang- ambing.
Sungguh kutipan ayat ini begitu mengena dengan kondisi kita saat ini. “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. al-’Ashr : 1-3).
Akhi wa ukhti fillah,semoga Allah menjaga diriku dan dirim.
Waktu yang Allah berikan kepada kita merupakan nikmat yang sangat agung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua buah nikmat yang kebanyakan manusia terpedaya karena tidak bisa menggunakan keduanya dengan baik, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari). Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Hai anak Adam, sesungguhnya kamu adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap kali hari berlalu maka lenyaplah sebagian dari dirimu.” Ada orang yang mengatakan, “Waktu bagaikan pedang, kalau kamu tidak menebasnya -dengan kebaikan- maka dia akan menebasmu -dengan keburukan-.”
Betapa jauhnya kita dengan akhlak salafus shalih. Ibnu Abi Mulaikah mengatakan, “Aku berjumpa dengan tiga puluh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka semua merasa khawatir dirinya tertimpa kemunafikan.” Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Seorang mukmin akan memadukan di dalam dirinya antara ihsan/perbuatan baik dengan rasa takut. Sedangkan seorang yang munafik akan memadukan di dalam dirinya antara perbuatan jelek dengan rasa aman dari tertimpa hukuman.” Allahul musta’aan!
Di manakah posisi kita wahai saudaraku! Kita menisbatkan diri sebagai seorang salafi -pengikuti pemahaman salafus shalih- namun dalam prakteknya akhlak kita sangat jauh dari apa yang diharapkan.
Saudaraku, salafuna as-shalih adalah orang-orang yang sangat pelit dengan waktunya dan paling gigih dalam menjaga lisan mereka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka itu mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisik-bisikan mereka? Sebenarnya Kami mendengar, dan para utusan Kami (malaikat) selalu mencatat di sisi mereka.” (QS. az-Zukhruf : 80).
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidak ada kebaikan di dalam kebanyakan perbincangan mereka kecuali orang yang menyuruh bersedekah, mengajak yang ma’ruf, atau mendamaikan di antara manusia.” (QS. an-Nisa’ : 114). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah satu tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya.” (HR. Tirmidzi, hasan). Sebagian orang bijak mengatakan, “Apabila kamu akan berbicara maka ingatlah bahwa Allah mendengar ucapanmu. Apabila kamu diam, maka ingatlah bahwa Allah juga selalu mengawasimu.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 152).
Diatas semua itu, apa yang kita harapkan?
Tentu saja keridhoan Allah. Tidak hanya dalam urusan pribadi namun juga urusan dakwah yang melibatkan banyak orang. Kita sangat merindukan suasana ketika para aktivis dakwah segera meyentuh Al Quran nya dibandingkan untuk membalas sms. Kita inginkan semua aktivis dakwah merasa haus ilmu sehingga dengan sendiri atau bersama- sama menghadiri pengajian2 rutin. Dan hal yang sangat kita dambakan adalah saat2 dimana agenda dakwah berjalan bersama hadirnya ruh kita. Agenda dakwah yang diiringi oleh pemahaman kita akan esensi kegiatan itu. Agenda yang tidak hanya menyisakan kepenatan yang tak berbayar akibat dari kurangnya dasar ilmu kita betapa pentingnya agenda itu dijalankan. Agenda yang tidak mentok dilakukan hanya untuk sekadar menggugurkan sebuat tuntutan: terlaksananya sebuah progja. Tentu tak se- sempit itu.
Sebagai penutup, sedikit renungan buat kita bersama.
Jadilah sebagaimana pemuda Ibrahim yang getol untuk memperjuangan tauhid dan memberantas syirik yang ada di masyarakatnya!
Jadilah sebagaimana para pemuda Kahfi yang beriman kepada Allah dan Allah pun berkenan menambahkan hidayah kepada mereka!
Jadilah sebagaimana Ali bin Abi Thalib yang sangat keras memusuhi musuh-musuh Islam yang berani melecehkan sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam!
Jadilah sebagaimana para pemuda Anshar yang berlomba-lomba untuk maju ke medan jihad demi mempertahankan agamanya!
Jadilah sebagaimana Uwais al-Qarani yang sangat berbakti kepada ibunya!
Jadilah aktivis dakwah yang berbuat ikhlas dan ittiba’!
Semoga bermanfaat. (24/11san)